Kumpulan Puisi Chairil
Anwar
Puisi Kehidupan
Hari hari lewat, pelan
tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak
tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang
lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama
menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka
yang berani hidup
Aku suka pada mereka
yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi
mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak
tahu apa nasib waktu !
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang
kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan
itu
Aku ini binatang
jalang
Dari kumpulannya
terbuang
Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap meradang
menerjang
Luka dan bisa kubawa
berlari
Berlari
Hingga hilang pedih
peri
Dan aku akan lebih
tidak perduli
Aku mau hidup seribu
tahun lagi
Krawang Bekasi
Kami yang kini
terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak
“Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang
tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju
dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang
tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah
kami.
Kami sudah coba apa
yang kami bisa
Tapi kerja belum
selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang
berserakan
Tapi adalah
kepunyaanmu
Kaulah lagi yang
tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami
melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk
apa-apa,
Kami tidak tahu, kami
tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang
berkata
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan
jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di
garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal
tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring
antara Krawang-Bekasi
Hampa
kepada sri
Sepi di luar. Sepi
menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan.
Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi
memagut,
Tak satu kuasa
melepas-renggut
Segala menanti.
Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti
jadi mencekik
Memberat-mencekung
punda
Sampai binasa segala.
Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan
bertempik
Ini sepi terus ada.
Dan menanti
Sajak Putih
Bersandar pada tari
warna pelangi
Kau depanku bertudung
sutra senja
Di hitam matamu
kembang mawar dan melati
Harum rambutmu
mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam
dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam
jiwa
Dan dalam dadaku
memerdu lagu
Menarik menari seluruh
aku
Hidup dari hidupku,
pintu terbuka
Selama matamu bagiku
menengadah
Selama kau darah
mengalir dari luka
Antara kita Mati
datang tidak membelah
Diponegoro
Di masa pembangunan
ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi
api
Di depan sekali tuan
menanti
Tak gentar. Lawan
banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris
di kiri
Berselempang semangat
yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak
bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda
menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas
menghamba
Binasa di atas
ditindas
Sesungguhnya jalan
ajal baru tercapai
Jika hidup harus
merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Cintaku Jauh Di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang
iseng sendiri
Perahu melancar, bulan
memancar,
di leher kukalungkan
ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut
terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai
padanya.
Di air yang tenang, di
angin mendayu,
di perasaan
penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil
berkata:
“Tujukan perahu ke
pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah
bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama
‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil
dulu
Sebelum sempat
berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia
mati iseng sendiri.
Yang Terampas dan Yang Putus
kelam dan angin lalu
mempesiang diriku,
menggigir juga ruang
di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk,
rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet
(daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam
kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi
lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan
yang bergerak lantang
tubuhku diam dan
sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Persetujuan Dengan Bung Karno
Ayo ! Bung Karno kasi
tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama
dengan bicaramu
dipanggang diatas
apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17
Agustus 1945
Aku melangkah ke depan
berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku
sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan
aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku
kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku
kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Derai Derai Cemara
cemara menderai sampai
jauh
terasa hari akan jadi
malam
ada beberapa dahan di
tingkap merapuh
dipukul angin yang
terpendam
aku sekarang orangnya
bisa tahan
sudah berapa waktu
bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada
suatu bahan
yang bukan dasar
perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari
cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang
tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya
kita menyerah
Senja Di Pelabuhan Kecil
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada
yang mencari cinta
di antara gudang,
rumah tua, pada cerita
tiang serta temali.
Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam
mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat
kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram,
desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal
akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air
tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku
sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung,
masih pengap harap
sekali tiba di ujung
dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat,
sedu penghabisan bisa terdekap
0 komentar:
Posting Komentar